MODEL KECERDASAN BERBASIS
NEUROSIENCE : IQ, EQ DAN SQ
Model-model kecerdasan
yang kini dikembangkan dalam dunia psikologi mendasarkan
argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah dari studi dan penelitian
neuroscience. Mulai dari model kecerdasan konvensional (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), hingga yang mengklaim diri sebagai model kecerdasan
ultimat: kecerdasan spiritual (SQ), seluruhnya masih menjelaskan
kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-proses
yang secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf. Meski jaringan
syaraf pusat menampakkan gejala-gejala aktivitas kesadaran manusia
secara dominan, namun sekedar mereduksi entitas kesadaran ke dalam
proses-proses syaraf tersebut, hanya akan memastikan hilangnya peluang
untuk menjelaskan struktur kesadaran manusia secara utuh dan
fundamental. Pendekatan alternatif selain model-model neuroscience
terhadap gejala-gejala kesadaran ini antara lain diperoleh melalui
teori-teori kognisi kontemporer yang berbeda dengan pendekatan
sebelumnya dalam hal penekanannya terhadap proses hidup secara
keseluruhan, alih-alih memusatkan perhatian terhadap jaringan syaraf
pusat saja. Pendekatan ini mengkarakterisasi diri manusia dalam
struktur-struktur sistem kompleks metasistemik dengan sifat-sifat
emergent yang nampak sebagai gejala-gejala kecerdasan.
I. Pendahuluan
Studi dan penelitian
tentang kecerdasan dalam psikologi modern pada dasarnya termotivasi
untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis yang terkait dengan dunia
pendidikan/pekerjaan/kehidupan sehari-hari; yakni untuk memahami,
mengukur, mengklasifikasi, mengelola serta memanfaatkan aspek-aspek
kecerdasan individu dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam konteks ini,
kecerdasan dimaknai–sama seperti maknanya dalam bahasa
sehari-hari–sebagai kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
praktis (problem-solving capacity).
Seperti yang telah
dapat kita terka, dalam perkembangannya kemudian pemaknaan ini terpaksa
harus diperluas untuk dapat diletakkan dalam konteks yang lebih
fundamental, karena pada dasarnya kecerdasan dan aspek kognisi tak
terpisahkan dari aktivitas pikiran/kesadaran manusia secara utuh dan
hubungannya dengan aspek-aspek kedirian manusia seutuhnya yang belum
terjamah, serta interaksinya dengan lingkungan di sekelilingnya. Hanya
melalui konteks yang lebih substansial dan integral inilah kita boleh
berharap untuk mendekati fenomena kecerdasan (sekaligus juga
pikiran/aktivitas kesadaran) secara lebih komprehensif.
Dalam konteks yang
lebih fundamental dan ekstensif ini, pada akhirnya secara tak terelakkan
kita berhadapan dengan isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan fundamental
yang saling terkait erat: Apakah kecerdasan itu? Bagaimana ia bekerja?
Bagaimana kita dapat memahami sesuatu? Objek atau proses apa yang
terlibat pada saat kita berpikir? Bagaimana bisa kita berkesadaran?
Kapan kesadaran muncul? Apa fungsinya? Apa peran kesadaran dalam
eksistensi manusia yang masih sangat baru ini? Apa kaitannya dengan
lingkungan? Bagaimana hubungan antara kesadaran dengan alam semesta? Di
manakah batas-batas aspek kedirian manusia itu? Bisakah selain manusia
berpikir dan berkesadaran? Dari mana kesadaran berasal?
Isu dan pertanyaan
yang selalu aktual dan penting ini telah menjadi sumber khazanah
berbagai ikhtiar umat manusia yang termanifestasi dalam berbagai bidang
kajian/penyelidikan yang saling terkait erat satu sama lain dan tak
terpisahkan–hanya terbedakan melalui abstraksi formal–mulai dari
filsafat, psikologi, antropologi, cognitive science, linguistik,
neuroscience, yang juga melibatkan ilmu-ilmu alam dasar seperti biologi,
kimia, fisika, dengan bahasa matematika, hingga computer science dan
artificial intelligence. Semua isu tadi didekati dengan berbagai
motivasi, dimensi, kerangka kerja serta nuansa berbeda yang mewarnai
masing-masing ikhtiar keilmuan yang beragam tadi.
Meski manfaat dari
masing-masing bidang tadi secara independen telah membuka cakrawala
peradaban dan meningkatkan kualitas hidup kita, namun hanya melalui visi
dan konteks yang menyeluruhlah kita dapat mengintegrasikan seluruh
kontribusi bidang-bidang tadi ke dalam sebuah bangunan kerangka kerja
yang utuh dan koheren, guna memperoleh pengetahuan yang komprehensif
tentang manusia secara utuh dan menurunkan strategi yang benar untuk
mengembangkan potensi insaniah secara utuh dari setiap individu dalam
masyarakat. Pada akhirnya, secara praktis semuanya terkait lagi dengan
motivasi awal yang telah diungkapkan sebelumnya.
Satu catatan penting lain berkaitan dengan isu-isu tadi, yakni kenyataan bahwa seluruh isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan tadi juga dialamati–secara luar biasa lengkap dan terperinci–oleh risalah-risalah kenabian yang pernah diturunkan di sepanjang sejarah umat manusia dalam berbagai titik waktu, tempat dan tradisi yang berlainan, sebagai suatu isu sentral dalam risalah tersebut. Namun berbeda dengan ikhtiar-ikhtiar ilmiah tadi, risalah-risalah kenabian nampaknya tidak hadir dengan ‘jawaban’ atas isu-isu tadi. Lebih dari itu, risalah-risalah ini hadir sebagai sebuah struktur realitas ultimat terhadap eksistensi insaniah yang sejati, yang menyentuh dan menyelesaikan isu-isu tersebut tanpa perlu memberikan jawaban. Karena batas-batas diri manusia bukanlah terletak pada apa-apa yang kita pikirkan tentang diri kita, maka pertanyaan yang muncul dalam fakultas pikiran kita–serta jawaban yang juga terkait dengannya–tidak relevan lagi ketika struktur realitas tersebut sudah menempatkan diri manusia dalam konteksnya yang sejati. Itulah sebabnya dalam risalah-risalah kenabian, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari segenap jalan kehidupan pengikutnya yang menjadi perwujudan hidup dari risalah itu sendiri. Jadi dalam hal ini–seperti halnya materi adalah energi–pengetahuan adalah transformasi. Di sinilah letak perbedaannya dengan ikhtiar ilmiah yang dapat tetap saja menjadi abstrak dan teoretik.
Satu catatan penting lain berkaitan dengan isu-isu tadi, yakni kenyataan bahwa seluruh isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan tadi juga dialamati–secara luar biasa lengkap dan terperinci–oleh risalah-risalah kenabian yang pernah diturunkan di sepanjang sejarah umat manusia dalam berbagai titik waktu, tempat dan tradisi yang berlainan, sebagai suatu isu sentral dalam risalah tersebut. Namun berbeda dengan ikhtiar-ikhtiar ilmiah tadi, risalah-risalah kenabian nampaknya tidak hadir dengan ‘jawaban’ atas isu-isu tadi. Lebih dari itu, risalah-risalah ini hadir sebagai sebuah struktur realitas ultimat terhadap eksistensi insaniah yang sejati, yang menyentuh dan menyelesaikan isu-isu tersebut tanpa perlu memberikan jawaban. Karena batas-batas diri manusia bukanlah terletak pada apa-apa yang kita pikirkan tentang diri kita, maka pertanyaan yang muncul dalam fakultas pikiran kita–serta jawaban yang juga terkait dengannya–tidak relevan lagi ketika struktur realitas tersebut sudah menempatkan diri manusia dalam konteksnya yang sejati. Itulah sebabnya dalam risalah-risalah kenabian, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari segenap jalan kehidupan pengikutnya yang menjadi perwujudan hidup dari risalah itu sendiri. Jadi dalam hal ini–seperti halnya materi adalah energi–pengetahuan adalah transformasi. Di sinilah letak perbedaannya dengan ikhtiar ilmiah yang dapat tetap saja menjadi abstrak dan teoretik.
Ketertarikan manusia
terhadap fenomena kecerdasan–lebih luas lagi; fakultas pikiran dan
aktivitas kesadaran dirinya sendiri–telah dimulai sejak lama, barangkali
sejak kesadaran itu sendiri muncul. Untuk memahami bagaimana fakultas
kesadaran itu dimaknai kini (dan untuk menentukan arah-arah
investigasinya nanti) kita dapat menelusuri landasan-landasan filosofis
yang mendasarinya. Tentu saja tradisi filsafat baratlah yang melandasi
hal ini, sebagaimana tradisi itu pulalah yang melandasi alam pikiran
kita di sebuah negeri timur dengan gaya pendidikan yang sedikit membarat
dan kehilangan seluruh identitas substansialnya. Cukup memadai kiranya
untuk mengawali penelusuran konsep kecerdasan dalam tradisi filsafat
barat melalui para filsuf Yunani; Socrates, Plato dan Aristoteles,
meskipun para filsuf pra-sokratik lainnya juga telah menyentuh
aspek-aspek ini. “The safest characterization of the European
philosophical tradition is that it consists of a series of footnotes to
Plato,” demikian A. N. Whitehead menjaminnya.
Dalam Eutyphron, Plato
mengungkapkan sebuah dialog ketika Socrates bertanya kepada Eutyphro,
“Aku ingin tahu apa yang merupakan karakteristik dari kesalehan (piety,
ada pula yang menerjemahkannya dengan goodness/kebaikan) yang membuat
seluruh tindakan menjadi saleh … yang dapat aku rujuk dan aku pergunakan
sebagai pedoman untuk menilai tindakan-tindakanmu dan tindakan-tindakan
orang lain.” Dengan kata lain, Socrates menanyakan suatu ‘algoritma’
yang membedakan antara pikiran dan perbuatan yang saleh/baik, dari
pikiran dan perbuatan yang tidak saleh/tidak baik, dengan ini ia
sekaligus mendefinisikan kecerdasan secara bersahaja namun dengan makna
yang dalam. Aristoteles kemudian mengerjakan pekerjaan rumahnya ini
dengan memformulasikan seperangkat kaidah-kaidah formal yang mengatur
alur penalaran pikiran rasional yang saleh sebagai apa yang kemudian
kita sebut logika. Aristoteles mengembangkan sebuah sistem silogisme
formal untuk alur penalaran yang valid, yang secara prinsip memungkinkan
seseorang untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari premis-premis
awalnya.
Nampak jelas di sini
bahwa gagasan tentang kecerdasan yang merupakan kemampuan untuk berpikir
dan melakukan tindakan-tindakan yang benar/saleh–dalam konteks praktis:
problem-solving capacity–dirumuskan dalam kemampuan untuk berpikir
menurut kaidah-kaidah formal penalaran yang baik: kemampuan untuk
berpikir logis. Tapi pekerjaan rumah Aristoteles tidak berhenti di sini,
karena ia pun meyakini adanya suatu fakultas penalaran intuitif dalam
diri manusia, yang juga saleh tapi tidak dalam konteks logikanya. Kita
merasakan adanya sebuah reduksi nuansa makna dalam yang kemudian
berlanjut hingga peradaban modern kini, karena kesalehan dalam
pertanyaan Socrates agaknya tidak hanya dalam nuansa praktis (saleh
dalam pengertian misalnya ketika menyeberang lihat kiri-kanan, ketika
ada ancaman menghindar, ketika ada sesuatu merespon dengan sesuatu itu
dengan tepat, dll.), namun juga dalam nuansa lain yang tidak dapat kita
temukan hanya melalui pengelaborasian sisi eksistensi manusia saja.
II. IQ, EQ, dan SQ
Memasuki abad ke-20
kita mengenal sebuah istilah populer yang berkaitan dengan kecerdasan
IQ, Intelligent Quotient. Sekarang ini hampir sulit menemukan ada
istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam
memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog
berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu
test kecerdasan terstandardisasi untuk pertama kalinya. Berbeda dengan
bagaimana IQ diposisikan kini dalam cara masyarakat memandang dan
mengklasifikasikan individu-individu, pada awalnya Binet justru
merancang test kecerdasannya ini untuk mengidentifikasi pelajar-pelajar
di sekolahnya saat itu yang membutuhkan bantuan khusus, dan bukannya
untuk mencari anak-anak yang berbakat luar biasa seperti yang
berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet berusaha untuk
memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan-persoalan dalam
perilaku ini tidak lantas dianggap secara terburu-buru hanya sebagai
orang yang bodoh/tidak cerdas.
Test yang dikembangkan
oleh Binet ini tak lama kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman,
seorang profesor dalam bidang psikologi dari Stanford University di US.
Terman menggagaskan untuk memformulasikan suatu skor nilai yang
disebutnya sebagai IQ–Intelligent Quotient–yang diperoleh dengan cara
membagi ‘umur mental’ seseorang (yang didapat dari test kecerdasan
Binet) dengan umurnya yang sebenarnya atau umur kronologisnya.
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra. Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.
Dalam risetnya di Stanford, Terman memberikan usulan–yang kemudian diterima secara luas di US saat itu–bahwa test IQ selayaknya digunakan untuk melakukan seleksi populasi sehingga para pemuda dapat ditempatkan berdasarkan nilai IQ-nya di dalam sistem akademik dengan derajat-derajat kelas tertentu, yang pada akhirnya akan mengarahkan mereka pada posisi dan status sosial-ekonomi yang setaraf pula di masa depannya. Andaikan kita sedemikian pandainya dengan nilai test IQ tertinggi 1% dari seluruh warga US, maka pemerintah US akan sangat pandai juga dan dermawan dalam hal mencarikan dan menawarkan kita akses menuju jenjang pendidikan kelas satu di sana, dan akhirnya pula menuju kesempatan-kesempatan kerja dan posisi-posisi sosial yang bertaraf tinggi. Orang-orang dengan IQ tinggi di sana tidak selalu memimpin jabatan penting dalam pemerintahan; namun dapat dipastikan mereka memiliki akses atas posisi-posisi istimewa dan hak-hak khusus lainnya. Dalam istilah kontemporer, suatu negara yang mengorganisasikan dirinya berdasarkan nilai test IQ seperti di US disebut meritokrasi (merit: jasa/guna).
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra. Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.
Dalam risetnya di Stanford, Terman memberikan usulan–yang kemudian diterima secara luas di US saat itu–bahwa test IQ selayaknya digunakan untuk melakukan seleksi populasi sehingga para pemuda dapat ditempatkan berdasarkan nilai IQ-nya di dalam sistem akademik dengan derajat-derajat kelas tertentu, yang pada akhirnya akan mengarahkan mereka pada posisi dan status sosial-ekonomi yang setaraf pula di masa depannya. Andaikan kita sedemikian pandainya dengan nilai test IQ tertinggi 1% dari seluruh warga US, maka pemerintah US akan sangat pandai juga dan dermawan dalam hal mencarikan dan menawarkan kita akses menuju jenjang pendidikan kelas satu di sana, dan akhirnya pula menuju kesempatan-kesempatan kerja dan posisi-posisi sosial yang bertaraf tinggi. Orang-orang dengan IQ tinggi di sana tidak selalu memimpin jabatan penting dalam pemerintahan; namun dapat dipastikan mereka memiliki akses atas posisi-posisi istimewa dan hak-hak khusus lainnya. Dalam istilah kontemporer, suatu negara yang mengorganisasikan dirinya berdasarkan nilai test IQ seperti di US disebut meritokrasi (merit: jasa/guna).
Meritokrasi–yang jika
diterjemahkan dalam prasangka baik–pada dasarnya bertujuan untuk
mengaktualisasikan dan mengoptimalkan potensi-potensi setiap warga
negaranya demi kepentingan bersama, karena satu dan lain hal,
menyebabkan terbentuknya kelas-kelas status sosial serta memperlebar
jurang antar kelas. Ironis sekali bahwa gagasan yang pada dasarnya cukup
baik ini, terpaksa harus membatasi kesempatan banyak orang hanya karena
potensi-potensi mereka tidak terukur oleh metoda test kecerdasan
konvensional–test IQ. Hal ini melahirkan gelombang gerakan protes dan
kritik dari berbagai kalangan, yang sebenarnya telah bermula sejak
gagasan IQ diterima kalangan luas. Gerakan anti-IQ yang paling
signifikan terjadi di Inggris sekitar tahun 1960-an. Ketika itu,
mengadopsi sistem seleksi berbasis IQ yang sangat ketat bagi anak-anak
berumur belasan tahun yang masuk ke sekolah-sekolah negeri. Gerakan ini
secara umum tidak ditujukan pada metoda itu sendiri, namun pada
penerapannya yang kurang bijaksana. Jadi secara konseptual, masyarakat
luas tetap menyadari arti penting aspek kecerdasan ini sebagai
satu-satunya aspek yang dominan dalam mengkarakterisasi diri manusia.
Kritik terhadap IQ sendiri tidak menjadi pendorong yang utama untuk
gerakan anti-IQ yang justru semakin meluas memasuki dekade berikutnya.
Bahkan pada tahun 1971 US Supreme Court telah memutuskan untuk
menghapuskan penggunaan metoda test IQ untuk masalah-masalah perekrutan
dan kepegawaian, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Yang perlu ditekankan di sini bukanlah pada betapa test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang berdasarkan aspek kecerdasannya saja, namun pada betapa konsep kecerdasan ini telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik–sebagai akibat dari ketiadaan konsep diri manusia seutuhnya dalam tradisi filosofis dan budaya barat yang berlaku saat itu hingga kini. Barangkali akan lain halnya, jika konsep dan metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam tradisi filosofis yang memandang potensi-potensi diri manusia secara utuh. Besar kemungkinannya gagasan IQ ini akan melengkapi konsepsi integral yang ada ke dalam sebuah kerangka kerja yang koheren dengan sebuah metoda praktis yang akan bermanfaat dalam memahami dan menyelidiki fenomena kesadaran manusia lebih jauh lagi.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
Yang perlu ditekankan di sini bukanlah pada betapa test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang berdasarkan aspek kecerdasannya saja, namun pada betapa konsep kecerdasan ini telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik–sebagai akibat dari ketiadaan konsep diri manusia seutuhnya dalam tradisi filosofis dan budaya barat yang berlaku saat itu hingga kini. Barangkali akan lain halnya, jika konsep dan metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam tradisi filosofis yang memandang potensi-potensi diri manusia secara utuh. Besar kemungkinannya gagasan IQ ini akan melengkapi konsepsi integral yang ada ke dalam sebuah kerangka kerja yang koheren dengan sebuah metoda praktis yang akan bermanfaat dalam memahami dan menyelidiki fenomena kesadaran manusia lebih jauh lagi.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
Goleman mempopulerkan
pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri
manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam
menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut.
Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya
dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk
mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut,
kemampuan untuk berempati, dll. Jika kita tidak mampu mengelola aspek
rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan
aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian menurut
Goleman. Sementara itu Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek
konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan
dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah
kecerdasan spiritual (SQ). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini
dalam pandangan mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan
makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung
untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk
mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dll.
Sebagai konsekuensi melibatkan konteks nilai dan makna dalam aspek
berkecerdasan manusia, maka SQ sebetulnya mengalamati pelik-pelik
ontologis dan epistemologis dalam mencermati aspek-aspek
kecerdasan/kesadaran diri manusia secara utuh. Di sini barangkali kita
bisa berharap akan adanya sebuah sintesa bangunan kerangka kerja yang
koheren dan komprehensif untuk mendekati konsepsi diri manusia dengan
segenap aspek-aspeknya yang tak terpisahkan, meskipun pada kenyataannya
Zohar tidak menyelesaikan masalah ini dengan cukup terperinci dan lebih
memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek aplikasi praktisnya.
Namun, EQ dan SQ ini
pun pada dasarnya tidak akan banyak membantu kita–yang telah terbiasa
memahami apa-apa yang berlangsung di dalam benak kita dalam
istilah-istilah intelligent dan quotient–seandainya kita tidak memiliki
visi yang fundamental dan menyeluruh dalam memandang aspek-aspek
kedirian manusia secara utuh. Kita menyadari bahwa gelombang antusiasme
yang berlebihan terhadap kedua formulasi kecerdasan ini alih-alih
bermanfaat, mungkin malah akan berbalik membatasi dan mematikan banyak
aspek dan potensi manusia yang belum terjamah. Di sisi lain, kita
dituntut untuk sedapatnya memanfaatkan formulasi kecerdasan ini dalam
rangka membangun sebuah konsepsi manusia yang utuh, radikal dan
fundamental serta menerjemahkannya secara strategis dalam
langkah-langkah praktis agar dapat mengatasi masalah-masalah aktual di
negeri kita.
III. Neuroscience dan Kesadaran Manusia
Seperti telah
terungkap di atas, secara umum EQ dan SQ memiliki kesepakatan untuk
memandang aspek-aspek kecerdasan manusia lebih dari sekedar aspek
kognitif konvensional yang terukur dengan metoda test IQ. Keduanya pun
sama-sama dirumuskan berdasarkan hasil-hasil penelitian dalam bidang
psikologi dan neuroscience terbaru, yang semakin berkembang terutama
akibat kemajuan teknologi instrumentasi kedokteran yang dapat mengamati
aktivitas-aktivitas vital sistem syaraf pusat dan organ-organ lainnya
dengan metoda visualisasi yang cukup canggih. Hasil-hasil penelitian
ini, terutama dalam bidang neuroscience, digunakan sebagai basis untuk
mendukung formulasi-formulasi EQ dan SQ. Sementara EQ merujuk pada
penemuan-penemuan penting dari Joseph LeDoux tentang fungsi organ
amigdala pada batang rongga otak, maka SQ merujuk pada hasil-hasil
penelitian terutama dari Rudolfo Llinas tentang proses-proses gelombang
elektromagnetik (electroencephalogram dan magnetoencephalogram) syaraf
pusat yang berfungsi sebagai pengintegrasi persepsi.
LeDoux mengamati bahwa
gejala-gejala emosi yang sebelumnya dianggap berlangsung sebagai akibat
dari aktivas-aktivitas fungsional otak besar, neokorteks dan sistem
limbik, ternyata sebagian besar berlangsung pula sebagai akibat dari
organ amigdala yang terletak di bagian dalam tengah otak kita. Dalam
eksperimennya, LeDoux mengamati bahwa organ ini mengalami peningkatan
aktivitas seiring dengan respon-respon emosional manusia. Ketika syaraf
sensorik kita teraktivasi oleh respon inderawi dari luar (misalnya
retina mata kita yang menerima cahaya/objek visual dan mengaktifkan
syaraf optik), maka impuls syaraf ini akan diterima oleh thalamus–sebuah
bagian di dalam otak yang menerjemahkan stimuli impuls syaraf menjadi
bentuk-bentuk yang dipahami oleh otak–untuk memudian diterima oleh
neokorteks dan korteks visual yang mengolahnya dan merangsang amigdala
apabila stimulinya bersifat emosional. Namun ternyata menurut LeDoux,
sebagian besar sinyal semula dari thalamus ini langsung menuju amigdala
tanpa melewati neokorteks/tanpa melalui proses konvensional, dengan
transmisi yang lebih cepat sehingga memungkinkan terjadinya respon yang
lebih cepat (meskipun relatif kurang akurat). Jadi LeDoux meyakini bahwa
amigdala dapat memicu suatu respon-respon yang terkait dengan aktivitas
emosional sebelum otak besar kita memahami betul apa yang terjadi,
bahkan lebih jauh lagi sistem emosi ternyata dapat bekerja sendiri tanpa
partisipasi kognitif: perasaan memiliki kecerdasannya sendiri. Bukti
ilmiah inilah yang dijadikan sebagai pendukung argumentasi Goleman bahwa
EQ adalah syarat utama penggunaan IQ secara efektif, yang kemudian
mengkaitkan beberapa sikap mental tipikal yang terkait dengan
EQ–kesadaran untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain,
empati, kasih-sayang, motivasi, serta kemampuan untuk merespon secara
wajar atas situasi-situasi bahagia atau sedih.
Sistem ‘kognisi’ emosional yang dijelaskan oleh LeDoux terjadi melalui aktivitas-aktivitas fungsional organ-organ syaraf pusat di kepala kita, terbentuk dari suatu interaksi paralel dari ratusan ribu jalinan sel syaraf yang terhubung dan bekerja secara paralel dalam suatu kumpulan jaringan syaraf yang amat masif. Jaringan syaraf inilah yang melandasi dinamika sistem emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman. Menurutnya, jaringan yang bekerja secara paralel ini bertanggung jawab terhadap aspek-aspek kecerdasan emosional yang seluruhnya terkait dengan dorongan-dorongan perasaan, pembentukan kebiasaan/habituasi, dan pengenalan pola-pola. Mekanisme syaraf yang paralel ini melengkapi mekanisme lintasan-lintsan jalur syaraf yang terhubung secara serial yang memungkinkan otak besar kita untuk menelusuri aturan-aturan, untuk berpikir secara logis dan rasional, dan sekuensial yakni aspek-aspek kognisi yang biasa kita kaitkan dengan kecerdasan IQ.
Sistem ‘kognisi’ emosional yang dijelaskan oleh LeDoux terjadi melalui aktivitas-aktivitas fungsional organ-organ syaraf pusat di kepala kita, terbentuk dari suatu interaksi paralel dari ratusan ribu jalinan sel syaraf yang terhubung dan bekerja secara paralel dalam suatu kumpulan jaringan syaraf yang amat masif. Jaringan syaraf inilah yang melandasi dinamika sistem emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman. Menurutnya, jaringan yang bekerja secara paralel ini bertanggung jawab terhadap aspek-aspek kecerdasan emosional yang seluruhnya terkait dengan dorongan-dorongan perasaan, pembentukan kebiasaan/habituasi, dan pengenalan pola-pola. Mekanisme syaraf yang paralel ini melengkapi mekanisme lintasan-lintsan jalur syaraf yang terhubung secara serial yang memungkinkan otak besar kita untuk menelusuri aturan-aturan, untuk berpikir secara logis dan rasional, dan sekuensial yakni aspek-aspek kognisi yang biasa kita kaitkan dengan kecerdasan IQ.
Namun tentu saja,
aktivitas kecerdasan dan kesadaran manusia tidak hanya terbentuk dari
mekanisme serial dan paralel yang terpisah seperti ini saja, karena
kedua mekanisme ini sendiri bekerja secara bersama-sama dalam satu
kesatuan kesadaran yang berpusat di otak. Bagaimana kedua bentuk
organisasi syaraf serial dan paralel yang saling terpisah ini bisa
membentuk sebuah persepsi dan kesadaran yang utuh dikenal dengan nama
‘binding problem.’ Persoalan ini pertama kalinya didekati oleh ahli
syaraf dari Austria, Wolf Singer, pada pertengahan tahun 1990-an. Singer
berhasil menunjukkan bahwa terdapat suatu proses syaraf yang
berlangsung dalam otak yang didedikasikan untuk menyatukan
pengalaman-pengalaman yang terpisah serta memberikannya suatu konteks
makna. Sebelum hasil penelitian Singer tentang gelombang syaraf sinkron
yang menyatukan mekanisme syaraf seluruh otak ini, para ahli syaraf dan
cognitive scientist hanya mengenali dua bentuk organisasi dalam susunan
syaraf pusat kita. Belakangan kemudian hasil penelitian Singer ini
dikembangkan kemudian oleh Rudolfo Llinas dengan meneliti aktivitas
kesadaran pada saat tertidur dan terbangun serta pengikatan
peristiwa-peristiwa kognitif dalam otak.
IV. Teori Kognisi Kontemporer
Dalam teori
kontemporer tentang sistem-sistem hidup, pikiran/kesadaran bukanlah
sebuah objek atau entitas benda, namun sebuah proses. Proses ini adalah
proses kognisi – proses untuk memahami–proses berkecerdasan, yang
teridentifikasi dengan proses kehidupan itu sendiri. Teori kontemporer
ini dikenal dengan sebutan Teori Kognitif Santiago, yang digagaskan oleh
Humberto Maturana dan Fransisco Varela, dari Universitas Santiago,
Chili.
Hubungan antara pikiran, atau kognisi dengan proses hidup, merupakan hal yang sama sekali baru dalam dunia sains modern, namun telah lama dikenal dalam tradisi-tradisi lama. Peradaban pramodern dalam berbagai tradisi kebudayaannya memandang bahwa kesadaran rasional/pikiran manusia hanyalah satu aspek dari jiwa manusia sejati yang immateri. Oleh karena itu, dikotominya yang paling mendasar tidak terletak antara tubuh (body) dengan pikiran (mind), namun antara tubuh (body) dengan jiwa (soul), atau tubuh (body) dengan ruh (spirit) . Perbedaan antara jiwa dengan ruh berfluktuasi di setiap zaman dan hampir dianggap tak signifikan lagi perbedaannya pada masa kini. Namun, perlu diperhatikan bahwa bahasa-bahasa peradaban pramodern yang sangat ketat dalam menggunakan kata (berbeda halnya dengan era posmodern kini), membedakan kedua istilah jiwa dan ruh ini, misalnya dalam rumpun bahasa Yunani (psyche-pneuma), Latin (anima-spiritus), Semit (nafs-ruh), Sanskerta (atman), Timur Jauh (chi), dll. Meskipun secara etimologis kedua istilah untuk jiwa dan ruh ini memiliki nuansa yang dekat (nafas, hidup), dua istilah ini secara umum membawakan dua gagasan yang berbeda, yakni aktivitas kesadaran esensial manusia dengan daya hidup manusia.
Gagasan intuitif yang mendasari penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep dalam kebudayaan pramodern ini adalah bahwa ruh sebagai nafas kehidupan. Serupa dengan itu pula, maka konsep kognisi dalam teori Santiago melampaui kognisi sebagai pikiran rasional karena teori ini melibatkan segenap proses hidup. Jelas bahwa dalam teori kognisi baru ini kita berhadapan dengan suatu ekspansi radikal atas konsep-konsep konvensional yang mendasari IQ, EQ, dan SQ yang mendasarkan aspek kecerdasan dan kesadaran manusia pada aktivitas-aktivitas otak sebagai organ komputasional. Dalam pandangan teori kognisi Santiago ini, kognisi melibatkan seluruh proses hidup–bahkan proses kognisi tidak memprasyaratkan adanya otak ataupun sistem syaraf. Dalam hal ini bahkan bakteria pun dapat mempersepsi karakteristik-karakteristik tertentu dalam lingkungan mereka. Bakteria ini dapat merasakan perbedaan kimiawi di sekeliling mereka, dan berenang menuju larutan gula dan menghindari dari asam, merasakan dan menghindari panas, menjauhi atau mendekati sinar matahari, bahkan beberapa jenis bakteria dapat mendeteksi medan magnetik: sebuah bentuk perilaku yang cerdas.
Teori kognisi Santiago berakar pada konsep cybernetics yang pertama kali digagaskan oleh Norbert Wiener pada tahun 1948. Kata itu sendiri didefinisikan langsung dalam judul buku yang ditulis sendiri oleh Wiener, Cybernetics; Control and Communication in the Animal and the Machine. Konsep ini berkembang dalam suatu gerakan intelektual yang berupaya mendekati pengkajian ilmiah atas kesadaran manusia dan ilmu pengetahuan dari suatu perspektif sistemik dan interdisipliner yang melampaui kerangka kerja psikologi dan epistemologi tradisional. Pendekatan ini dalam bidang psikologi secara bebas seringkali diistilahkan sebagai cognitive science (sains kognitif).
Hubungan antara pikiran, atau kognisi dengan proses hidup, merupakan hal yang sama sekali baru dalam dunia sains modern, namun telah lama dikenal dalam tradisi-tradisi lama. Peradaban pramodern dalam berbagai tradisi kebudayaannya memandang bahwa kesadaran rasional/pikiran manusia hanyalah satu aspek dari jiwa manusia sejati yang immateri. Oleh karena itu, dikotominya yang paling mendasar tidak terletak antara tubuh (body) dengan pikiran (mind), namun antara tubuh (body) dengan jiwa (soul), atau tubuh (body) dengan ruh (spirit) . Perbedaan antara jiwa dengan ruh berfluktuasi di setiap zaman dan hampir dianggap tak signifikan lagi perbedaannya pada masa kini. Namun, perlu diperhatikan bahwa bahasa-bahasa peradaban pramodern yang sangat ketat dalam menggunakan kata (berbeda halnya dengan era posmodern kini), membedakan kedua istilah jiwa dan ruh ini, misalnya dalam rumpun bahasa Yunani (psyche-pneuma), Latin (anima-spiritus), Semit (nafs-ruh), Sanskerta (atman), Timur Jauh (chi), dll. Meskipun secara etimologis kedua istilah untuk jiwa dan ruh ini memiliki nuansa yang dekat (nafas, hidup), dua istilah ini secara umum membawakan dua gagasan yang berbeda, yakni aktivitas kesadaran esensial manusia dengan daya hidup manusia.
Gagasan intuitif yang mendasari penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep dalam kebudayaan pramodern ini adalah bahwa ruh sebagai nafas kehidupan. Serupa dengan itu pula, maka konsep kognisi dalam teori Santiago melampaui kognisi sebagai pikiran rasional karena teori ini melibatkan segenap proses hidup. Jelas bahwa dalam teori kognisi baru ini kita berhadapan dengan suatu ekspansi radikal atas konsep-konsep konvensional yang mendasari IQ, EQ, dan SQ yang mendasarkan aspek kecerdasan dan kesadaran manusia pada aktivitas-aktivitas otak sebagai organ komputasional. Dalam pandangan teori kognisi Santiago ini, kognisi melibatkan seluruh proses hidup–bahkan proses kognisi tidak memprasyaratkan adanya otak ataupun sistem syaraf. Dalam hal ini bahkan bakteria pun dapat mempersepsi karakteristik-karakteristik tertentu dalam lingkungan mereka. Bakteria ini dapat merasakan perbedaan kimiawi di sekeliling mereka, dan berenang menuju larutan gula dan menghindari dari asam, merasakan dan menghindari panas, menjauhi atau mendekati sinar matahari, bahkan beberapa jenis bakteria dapat mendeteksi medan magnetik: sebuah bentuk perilaku yang cerdas.
Teori kognisi Santiago berakar pada konsep cybernetics yang pertama kali digagaskan oleh Norbert Wiener pada tahun 1948. Kata itu sendiri didefinisikan langsung dalam judul buku yang ditulis sendiri oleh Wiener, Cybernetics; Control and Communication in the Animal and the Machine. Konsep ini berkembang dalam suatu gerakan intelektual yang berupaya mendekati pengkajian ilmiah atas kesadaran manusia dan ilmu pengetahuan dari suatu perspektif sistemik dan interdisipliner yang melampaui kerangka kerja psikologi dan epistemologi tradisional. Pendekatan ini dalam bidang psikologi secara bebas seringkali diistilahkan sebagai cognitive science (sains kognitif).
Cybernetics
berkontribusi terhadap bidang sains kognitif dengan model kognisi
konvensionalnya yang pertama. Salah satu premis dari model ini adalah
bahwa kecerdasan manusia menyerupai ‘gejala kecerdasan’ yang dimiliki
oleh komputer pada suatu tingkatan dimana kognisi dapat didefinisikan
sebagai sistem pengolahan informasi, yakni sebagai manipulasi
simbol-simbol yang didasarkan pada sekumpulan aturan-aturan tertentu.
Berdasarkan model ini, proses kognisi melibatkan suatu konsep yang
disebut sebagai representasi mental. Seperti halnya sebuah komputer,
pikiran dimodelkan sebagai sesuatu yang bekerja dengan cara memanipulasi
simbol-simbol yang merepresentasikan ciri tertentu dari dunia
diluarnya. Aktivitas mental yang termodelkan sebagai komputer ini
mendominasi seluruh penelitian dalam bidang sains kognitif selama lebih
dari tiga puluh tahun. Model kecerdasan IQ sepenuhnya dijelaskan dalam
term-term model sains kognitif ini, demikian pula halnya dengan
model-model kecerdasan EQ dan SQ secara umum.
Gagasan bahwa otak
adalah suatu organ pengolah informasi telah mempengaruhi hampir seluruh
penelitian dalam bidang neurobiologi. Sebagai contoh, dalam salah satu
penelitian tentang visual korteks (salah satu bagian dari korteks otak
yang bertanggung jawab terhadap sensasi visual) nampak bahwa beberapa
sel syaraf tertentu merespon ciri-ciri tertentu dari objek yang sedang
diamati: kecepatan, warna, kontras, dll. Sel-sel syaraf yang memiliki
kekhasan ini dianggap mengambil suatu informasi tertentu dari retina,
untuk dilewatkan ke daerah otak lainnya untuk diproses lebih lanjut.
Namun dalam penelitian selanjutnya, nampak jelas bahwa percobaan
sebelumnya yang menunjukkan kaitan antara sel-sel syaraf tertentu dengan
karakteristik khusus tertentu hanya dapat didemonstrasikan pada
hewan-hewan percobaan yang terbius dan dalam kondisi-kondisi lingkungan
internal dan eksternal yang sangat terkendali. Namun jika percobaan
dilakukan pada hewan dalam kondisi biasa dalam lingkungan yang tipikal,
respon-respon syarafnya menjadi lebih sensitif terhadap konteks
rangsangan visual secara keseluruhan dan tidak dapat lagi
diinterpretasikan dengan penjelasan-penjelasan pengolahan informasi yang
bertahap secara sekuensial.
Model komputer atas
otak manusia ini mulai diragukan terutama setelah dikenalnya konsep
autopoiesis/self-organizing–diajukan oleh Maturana pada tahun
1970-an–yang memberikan alternatif lain terhadap model sains kognitif
terhadap otak manusia ini. Self-organization adalah salah satu
karakteristik yang paling esensial dari organisme hidup. Karakteristik
ini menggambarkan kemampuan suatu sistem hidup untuk mengorganisasikan
komponen-komponen subsistemnya secara mandiri dalam kaitan interaksinya
dengan struktur internal dan lingkungan sekitarnya. Seluruh gagasan baru
ini memunculkan keraguan baru terhadap model komputasional dari organ
otak manusia yang secara umum diakibatkan oleh dua masalah besar dalam
model ini. Masalah yang pertama adalah bahwa model otak sebagai pusat
pengolah informasi yang bekerja secara sekuensial atau setahap demi
setahap dalam suatu waktu, dan masalah yang kedua adalah bahwa
fungsi-fungsi tertentu terlokalisasi dalam daerah-daerah otak tertentu
pula. Kedua karakteristik dalam model ini sangat bertentangan dengan
observasi-observasi ilmiah kontemporer terhadap otak manusia.
Proses-proses visual yang dilakukan oleh serangga yang paling primitif
pun, ternyata jauh lebih cepat dari pada apa yang mungkin dikerjakan
oleh model-model komputasional secara sekuensial; dan otak manusia
ternyata tidak terdegradasi fungsinya secara signifikan apabila ada
salah satu bagiannya yang tidak berfungsi dengan baik. Kedua contoh
sederhana ini mengajukan keberatan terhadap model komputasional
sekuensial tadi.
Hasil-hasil observasi
ini mengusulkan adanya suatu pergeseran perhatian dari manipulasi simbol
ke konektivitas antar subsistem, dari aturan-aturan lokal ke koherensi
global, dari pengolahan informasi ke sifat-sifat emergent dari jaringan
syaraf. Perkembangan dan minat penelitian dalam bidang matematika
nonlinear dan model-model sistem kompleks belakangan ini, memungkinkan
hasil-hasil temuan-temuan ilmiah untuk dielaborasi lebih lanjut guna
menemukan struktur-struktur metasistemik pada gejala-gejala yang
emergent dalam aspek kesadaran manusia.
Teori kognisi Santiago pada awalnya berasal dari serangkaian penelitian terhadap jaringan syaraf dan juga terkait erat dengan konsep self-organizing dari Maturana. Sebagaimana digagaskan oleh Maturana, proses kognisi adalah aktivitas yang terkait dengan proses-proses pembentukan mandiri jaringan-jaringan self-organizing. Atau dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata Maturana, ’sistem-sistem hidup adalah sistem-sistem kognitif,’ dan ‘hidup sebagai suatu proses adalah suatu proses kognisi.’ Lebih jauh lagi, teori ini menggagaskan suatu fenomena yang mendasari proses kognisi yang disebut sebagai penggabungan struktural. Sistem autopoietik/self-organizing mengalami perubahan struktural yang berkelanjutan sementara melestarikan pola organisasinya yang terjalin satu dengan lain. Suatu sistem hidup tergabung dengan lingkungannya secara struktural, yakni melalui interaksi-interaksi yang berulang, yang pada setiap waktunya memicu perubahan-perubahan struktural dalam sistem. Namun, menurut Maturana, sistem hidup adalah sistem yang otonom. Lingkungan hanya memicu perubahan-perubahan struktural; lingkungan tidak mengarahkan atau menginstruksikan perubahan-perubahan ini.
Teori kognisi Santiago pada awalnya berasal dari serangkaian penelitian terhadap jaringan syaraf dan juga terkait erat dengan konsep self-organizing dari Maturana. Sebagaimana digagaskan oleh Maturana, proses kognisi adalah aktivitas yang terkait dengan proses-proses pembentukan mandiri jaringan-jaringan self-organizing. Atau dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata Maturana, ’sistem-sistem hidup adalah sistem-sistem kognitif,’ dan ‘hidup sebagai suatu proses adalah suatu proses kognisi.’ Lebih jauh lagi, teori ini menggagaskan suatu fenomena yang mendasari proses kognisi yang disebut sebagai penggabungan struktural. Sistem autopoietik/self-organizing mengalami perubahan struktural yang berkelanjutan sementara melestarikan pola organisasinya yang terjalin satu dengan lain. Suatu sistem hidup tergabung dengan lingkungannya secara struktural, yakni melalui interaksi-interaksi yang berulang, yang pada setiap waktunya memicu perubahan-perubahan struktural dalam sistem. Namun, menurut Maturana, sistem hidup adalah sistem yang otonom. Lingkungan hanya memicu perubahan-perubahan struktural; lingkungan tidak mengarahkan atau menginstruksikan perubahan-perubahan ini.
Sistem-sistem hidup
tidak sekedar mengarahkan dan mengkarakterisasi perubahan-perubahan
struktural ini, namun juga menginstruksikan gangguan-gangguan mana dari
lingkungan yang boleh memicu terjadinya perubahan-perubahan dalam
struktur dirinya. Hal ini merupakan salah satu gagasan kunci dari teori
kognisi Santiago. Perubahan struktur dalam suatu sistem adalah suatu
perilaku kognisi. Dengan menentukan gangguan-gangguan mana dari suatu
lingkungan yang memicu perubahannya, maka sistem ini mengkreasi dunianya
sendiri. Kognisi, karena ia bukanlah merupakan sebuah representasi dari
dunia independen yang ada di luar suatu sistem, namun merupakan sebuah
proses penciptaan dunia secara terus-menerus melalui proses hidup.
Interaksi dari suatu sistem hidup dengan lingkungannya adalah interaksi
kognitif, sebagaimana proses hidup itu sendiri adalah proses kognitif.
Seperti telah
diungkapkan dalam contoh tentang bakteria di atas, jelas bahwa
konsekuensi dari teori kognisi Santiago ini mengakibatkan sebuah
pergeseran yang radikal dalam hal konsep tentang kognisi dan dengan
sendirinya pula konsep tentang kesadaran. Dalam pandangan teori kognisi
kontemporer ini, kognisi melibatkan seluruh proses hidup–proses yang
berlangsung sebagai akibat dari dua entitas: materi biologis dan nyawa,
atau jasad dan ruh–dalam segenap proses persepsi, emosi, perilaku, dll.
dengan tidak memprasyaratkan adanya sistem jaringan syaraf ataupun organ
otak. Seperti pada kasus bakterium tadi yang memiliki jasad dan nyawa,
ia mempersepsi karakteristik tertentu dari lingkungan tempatnya hidup:
ia menciptakan dunianya sendiri. Ia menginderai gradien perbedaan
kimiawi di sekitarnya, dan berperilaku cerdas dengan berenang mendekati
laurtan glukosa dan menghindari larutan asam; ia merasakan dan
menghindari panas, bergerak menjauhi atau malah mendekati cahaya, dan
pada beberapa jenis bakteria bahkan mendeteksi medan magnetik bumi.
Bakterium ini menciptakan dunianya sendiri, dunia terang dan gelap,
dunia hangat dan dingin, medan magnetik dan gradien kimiawi.
Jangkauan interaksi yang dimiliki oleh suatu sistem hidup dengan lingkungannya, mendefinisikan domain kognitifnya. Seiring dengan bertambahnya level kompleksitas organisme hidup, demikian pula domain kognitifnya. Organ otak dan sistem jaringan syaraf pada manusia menunjukkan suatu ekspansi yang signifikan atas domain kognitif suatu organisme. Pada level kompleksitas seperti pada manusia, penggabungan struktural ini tidak hanya terjadi dengan lingkungannya namun juga dengan dirinya sendiri, dan oleh karena itu tidak hanya menciptakan dunia yang terkait dengan lingkungan eksternal, namun juga dengan lingkungan internalnya. Pada manusia, perpaduan struktural yang terkait dengan lingkungan internal ini berkaitan erat dengan gejala-gejala kebahasaan, pikiran, dan kesadaran.
Jangkauan interaksi yang dimiliki oleh suatu sistem hidup dengan lingkungannya, mendefinisikan domain kognitifnya. Seiring dengan bertambahnya level kompleksitas organisme hidup, demikian pula domain kognitifnya. Organ otak dan sistem jaringan syaraf pada manusia menunjukkan suatu ekspansi yang signifikan atas domain kognitif suatu organisme. Pada level kompleksitas seperti pada manusia, penggabungan struktural ini tidak hanya terjadi dengan lingkungannya namun juga dengan dirinya sendiri, dan oleh karena itu tidak hanya menciptakan dunia yang terkait dengan lingkungan eksternal, namun juga dengan lingkungan internalnya. Pada manusia, perpaduan struktural yang terkait dengan lingkungan internal ini berkaitan erat dengan gejala-gejala kebahasaan, pikiran, dan kesadaran.
Daftar Pustaka:
1. Bateson, Gregory; Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantine, 1972
2. Bateson, Gregory; Mind and Nature. New York: Ballantine, 1979
3. Capra, Fritjof; The Web of Life, HarperCollins, London, 1996
4. Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
5. LeDoux, Joseph; Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1994
6. Llinas, Rudolfo dan Urs Ribary; Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1993
7. Maturana, H. R. dan F. J. Varela; Autopoiesis: The Organization of the Living, dalam “Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living”, Dordrecht: D. Reidel Publishing Company, 1973
8. Prigogine, Ilya dan Isabelle Stengers; Order out of Chaos, New York: Bantam Books, 1984
9. Russel, Stuart and Peter Norvig; Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1995
10.Zohar, Danah and Ian Marshall, Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000
2. Bateson, Gregory; Mind and Nature. New York: Ballantine, 1979
3. Capra, Fritjof; The Web of Life, HarperCollins, London, 1996
4. Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
5. LeDoux, Joseph; Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1994
6. Llinas, Rudolfo dan Urs Ribary; Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1993
7. Maturana, H. R. dan F. J. Varela; Autopoiesis: The Organization of the Living, dalam “Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living”, Dordrecht: D. Reidel Publishing Company, 1973
8. Prigogine, Ilya dan Isabelle Stengers; Order out of Chaos, New York: Bantam Books, 1984
9. Russel, Stuart and Peter Norvig; Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1995
10.Zohar, Danah and Ian Marshall, Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar