Liring sepuh sepi
hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring sukma Sinukmanya winahya ing
ngasepi Sinimpen telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen saking liyep
layaping ngaluyup Pindha sesating supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang
mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem
karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong
anom sami.
Manusia jawa (tiyang
Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan
sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual
dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti
itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran,
kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada
jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun,
dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan
mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang
dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari
senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang
juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam,
seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu
bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali
(tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk
jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan
menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di
dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar
cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga
dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu
tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam
hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau
negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi
dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap
sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang
berada dalam keadaan bahaya.
Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap
oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam
kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari
konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para
pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan
kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu,
orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya
tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal
berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897
: 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang
wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :
1.Tapa ngalong,
dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2.Tapa nguwat, yaitu
bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat,
untuk suatu jangka waktu tertentu.
3.Tapa bisu, dengan
menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului
oleh suatu janji.
4.Tapa bolot, yaitu
tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5.Tapa ngidang,
dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6.Tapa ngramban,
dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7.Tapa ngambang,
dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah
ditentukan.
8.Tapa ngeli, adalah
cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah
rakit.
9.Tapa tilem, dengan
cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10.Tapa mutih, yaitu
hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.Tapa mangan,
dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
Ketiga jenis tapa
yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya
menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu
tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke
11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya
dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara
menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa
semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian
ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering
terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud
untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk
mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang
Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan
Tuhan.
Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa
adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas
menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan
meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti
memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang
sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari
dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar
belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam
berturut-turut.
Meditasi atau semedi
memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan
tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong,
tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi
seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain,
misalnya dengan berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin
dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh
kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk
memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk
mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh
tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun
banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten )
disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar